Langsung ke konten utama

Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera dan Kalimantan (Catatan Sejarah, Ekologi, Sosial, Ekonomi, Pencegahan dan Penanggulangan)

Mardiansyah*, Reflis**
*BKSDA Bengkulu; Pascasarjana PSDA Universitas Bengkulu
**Dosen PSDA Universitas Bengkulu


Hasil gambar untuk karhutlah riau klhk
Karhutlah di Riau (Dok. GoRiau)

Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera dan Kalimantan
(Catatan Sejarah, Ekologi, Sosial, Ekonomi, Pencegahan dan Penanggulangan)

Catatan Karhutlah
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terus terjadi di Indonesia, terutama di Sumatera, Riau, dan Kalimantan. Sejarah mencatat, karhutla hebat pernah terjadi di Riau dan Kalimantan tahun 1997 silam. Dampaknya amat parah, termasuk jatuhnya pesawat dan efek asap yang sampai ke negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, juga Thailand, Filipina, serta Australia. Efek kebakaran hutan dan lahan yang terjadi akhir-akhir ini juga cukup mengkhawatirkan. Sebaran asap yang ditimbulkan sudah amat meluas, mencapai sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan, bahkan warga negeri jiran juga turut merasakan dampaknya, (BMKG,17/9/2019).

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah terjadi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada seluas 4.918,74 Ha (2013), 44.411,36 Ha (2014), 261.060,44 ha (2015), 14.604, 84 Ha (2016), 11.127,49 ha (2017), 4.666,39 Ha (2018). Pada tahun 2015 luas kebakaran hutan dan lahan terjadi paling besar dan luas. (KLHK, 2019)

Walaupun demikian provinsi Bengkulu tidak termasuk daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Namun, peran serta dan taanggungjawab terhadap upaya mitigasi dan tetap waspada aktif dalam pencegahan terjadinya kebakaran hutan  dan lahan. Dukungan dan peran serta stakeholder pemerintah daerah, TNI, POLRI, pihak swasta dan masyarakat di daerah sangat berperan penting dalam upaya pencegahan dan penanggulanan kebakaran hutan dan lahan.

Tahun 2019, data dari BNPB secara keseluruhan mencatat area terbakar mencapai 328.724 hektare dengan 2.719 titik panas pada periode Januari hingga Agustus 2019. Dikutip dari berita cnnindonesia.com bahwa akhir september 2019 ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa sebaran titik api atau hotspot di area-area kebakaran hutan dan lahan ( karhutla) menurun. Pelaksana Tugas Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Rafless Brotestes Panjaitan mengatakan, dari laporan per Selasa (24/9/2019) pagi, terjadi penurunan hotspot menjadi 1.352. Semula, jumlah hotspot terpantau ada 2.533 pada Senin (23/9/2019).

"Jadi ada penurunan. Hotspot belum tentu ada api, tapi api itu dilakukan pemadaman oleh regu-regu satuan tugas (satgasl yang ada," ujar Rafless dalam jumpa pers di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Selasa (24/9/2019). Raffles mengatakan, Selasa pagi ini beberapa titik kebakaran masih ditemukan tetapi sudah ditangani langsung oleh satgas. Antara lain, seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Dampak Ekologis
Berdasarkan data dari BNPB yang dirilis pada Senin (16/9) pukul 16.00 WIB, hingga Agustus ini dampak kebakaran terluas terjadi di Riau yang mencapai hingga 49.266 ha. Menyusul Kalimantan Tengah yang mencapai 44.769 ha, Kalimantan Barat 25.900 ha, Sumatra Selatan 11.426 ha, dan Jambi seluas 11.022 ha. Angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan musim kemarau yang belum berakhir dan hujan yang masih belum turun. 

Menurut BMKG, ada beberapa factor yang mempengaruhi pengendalian iklim di Indonesia yang menyebabkan kekeringan Panjang pada musim kemarau tahun 2019 ini, yaitu :
(a). ENSO (El-Nino dan La Nina) yaitu perbedaaan atau variasi lebih panas atau dingin dari suhu permukaan laut di wilayah equator tengah dan timur Samudera Pasifik yang regular dan berkala.
(b). IOD (Indian Ocean Dipole) yaitu kondisi positif atau negative yang mempengaruhi kondisi kering atau basah di wilayah Indonesia.
(c). SST (Sea Surface Temperature) yaitu suhu muka laut yang mempengaruhi penguapan dan pertumbuhan awan hujan.
(d) Monsun (Angin) yaitu awal musim hujan adipengaruhi oleh monsoon asia (mengalirkan udara basah) dari benua asia menuju benua australia.

Rusaknya ekosistem dan lingkungkungan hidup yang terdampak akibat kebakaran hutan dan lahan, akan mempengaruhi kehidupan flora dan fauna yang ada. Pembukaan lahan dengaan cara dibakar akan merusak ekosistem alami yang ada. Itu adalah dampak ekologis dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi.


Dampak Sosial dan Ekonomi
Penyebab dari kebarakan hutan dan lahan hasil peninjauan dan pengumpulan informasi di lapangan adalah diduga perbuatan manusia dengan indikasi bahwa lokasi kebakaran yang terjadi di luar areal lahan sawit dan hutan tanaman industry, walaupun ada hanya sedikit dan berada di pinggir. Diduga adanya praktik pembukaan lahan (land clearing) dengan cara mudah dan murah dengan memanfaatakan kondisi musim kemarau yaitu dengan dibakar.

Dampak sosial dan ekonomi yang muncul dari kebarakan hutan dan lahan ini adalah pada sekstor rumah tangga, pemerintah dan perusahaan. Kualitas udara bersih yang berkurang dan berpengaruhi pada kesehatan dan lingkungan hidup masyarakat yang terdampak, baik itu di Riau maupun di Kalimantan. Munculnya masalah kesehatan akbiat polusi udara dan air seperti gangguan pernafasan atau ISPA, gangguan kesehatan mata dengan berkurangnya jarang pandang akibat asap yang pekat dan terganggunya aktifitas di luar rumah baik itu pekerjaan dan waktu pembelajaran siswa di sekolah. Aktifitas sosial lainnya tergangguan dari pertanian, kehutanan, perdagangan dan bisnis serta kegiatan transportasi (darat dan maskapai penerbangan).

Akibat ulah manusia inilah kebakaran terjadi. Dalam siaran Persnya Kapolri dan Panglima TNI telah melakukan pemeriksaan menggunakan helicopter dan jajarannya telah melakukan tindakan hukum dengan penetapan 249 Tersangka perseorangan dalam kasus karhutlah. Sedangkan KLHK melalui Dirjen Gakkum telah menyampaikan sudah menyegel 42 perusahaan secara korporasi yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan dan dalam proses hukum, yang terjadi di Jambi, Riau, Sumsel, Kalbar dan Kalteng.

Pencegahan dan Penanggulangan
Upaya penanggulangan yang dilakukan, dalam laporan BNPB dan KLHK,  bersama-sama dengan pihak terkait termasuk TNI dan Polri, telah berhasil memadamkan 120 ribu hotspot/ titik panas dengan pemadaman darat, waterbombing, dan hujan buatan dengan Teknologi Modifikasi Cuaca. Serta faktor cuaca pada bulan akhir September dan awal Oktober terjadi hujan deras dan hampir merata di wilayah yang terjadi kebakaran hutan dan lahan, menurunkan jumlah titik panas secara drastis. Turunnya hujan merupakan harapan besar dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Pencegahan adalah upaya yang terbaik dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Pencegahan dapat di lakukan secara regulasi dan teknis. Pecegahan dengan regulasi yaitu penegakan hukum secara tegas sesuai peratuaran perundang-undangan yang berlaku dalam permasalahan kebakaran hutan dan lahan secara tegas dan tidak tebang pilih dan pengawasan, monitoring dan evaluasi dalam perizinan yang dimiliki koporasi di arealnya masing-masing. Pencegahan teknis yaitu dengan peningkatan kapasitas dan kualitas Sumber Daya Manusia yang lebih baik dan berintegritas dalam pencegahan kebakran hutan dan lahan, peralatan sarana dan prasarana yang mendukung, serta upaya pencegahan areal konsesi di areal gambut. Upaya teknis lainnya yaitu dengan melibatkan peran serta masyarakat peduli api di tingkat tapak, sehingga dampak negatif dari kebakaran hutan dan lahan dapat diminimalisir.

Sumber :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAPPING DRONE : WORK FROM HOME (WFH) PRODUKTIF VIA ZOOM MEETING

Ditulis oleh : Mardiansyah Usman Bengkulu, 2 April 2020 Work From Home (WFH) Presiden Jokowi telah meminta segenap masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran virus corona dan penyakit Covid-19. Salah satu caranya, menurut Jokowi, adalah dengan memulai mengurangi aktivitas di luar rumah. "Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah," ujar Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor. Menurut Jokowi, langkah ini perlu dilakukan agar penanganan Covid-19 bisa dilakukan dengan lebih maksimal. Istilah bekerja dari rumah juga dikenal dengan Work From Home (WFH). (Kompas, 15/3/2020). Apakah itu WFH?  Arti WFH atau bekerja dari rumah. Dalam persepsi yang lain, yaitu konsep dimana karyawan dapat melakukan pekerjaannya dari rumah. Bekerja dari rumah memberikan jam kerja yang fleksibel bagi karyawan dan pekerjaan mereka bisa selesai dengan mudah. Bekerja dari rumah juga sangat membantu untuk memberikan keseimbangan antara duni...

DRONE FOR ENVIRONMENT (Pemanfaatan Drone untuk Pengelolaan Lingkungan)

Ditulis : Mardiansyah Usman Bengkulu, 4 April 2020 Ilmu tidaklah sempurna, sebelum disebarkan dan diamalkan (Hikmat Ramdan, 2020) Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat.   Kalimat populer tersebut bukanlah hadist, namun merupakan nasehat para salaf (islamedia.id). Ungkapan tersebut menjadi dasar dari ungkapan “ Lifelong learning ” atau pembelajaran seumur hidup. Jika kita mau mengamati, kehidupan di dunia ini seakan tidak pernah sepi dari kegiatan belajar, sejak mulai lahir sampai hidup ini berakhir. Menuntut ilmu tidak kenal hari libur, bisa formal maupun informal, dan tidak mengenal waktu ataupun usia. Siapapun, kapanpun dan dimanapun ilmu pengetahuan akan selalu ada disekitar kita. Perjalanan panjang meraih ilmu pengetahuan juga diiringi dengan pengalaman, maka bersabarlah. Dalam menghadapi kondisi wabah Covid19 di Kuartal I Tahun 2020 ini, kita harus taat pada aturan yang telah disampaikan bahwa dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2...

DRONES FOR FOOD SECURITY (PEMANFAATAN DRONE UNTUK KETAHANAN PANGAN)

Ditulis oleh : Mardiansyah Usman Bengkulu, 5 April 2020. Ketahanan Pangan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga disebutkan bahwa ketahanan pangan nasional dimulai dari ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pangan harus dapat diakses dengan mudah bagi rumah tangga. Berdasarkan data dari  The Economist Intelligence Unit  (EIU) pada tahun 2014 hingga 2018, Indeks Ketahanan Pangan di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 2014 mencapai 46,5 indeks dan di tahun 2018 mencapai 54,8 indeks. Indeks ketahanan pangan di Indonesia terlihat membaik sepanjang tahun 2014 hingga 2018. Selain itu, sepanjang tahun 2014 sampai 2018 indeks ketahanan pangan secara global menurut data dari Global Food Security Index (GFSI) Indonesia berada pada peringkat ke 65 dunia dan peringkat ke-5 di ASEAN. Penilaian indeks ketahanan pangan terdiri dari empat aspek : Pertama,  affordability  te...