PENILAIAN EFEKTIFITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DENGAN METODE METT (MANAGEMENT EFECTIVENESS TRACKING TOOL)
![]() |
Kerangka Kerja Penilaian METT |
PENILAIAN EFEKTIFITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI
DENGAN METODE METT (MANAGEMENT EFECTIVENESS TRACKING TOOL)
Mardiansyah¹,²
¹BKSDA Bengkulu
²Pasca Sarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam, Universitas Bengkulu
PENDAHULUAN
Provinsi Bengkulu secara georafis berada di 2°16’ - 3°16 LS dan 101° 1 - 101° 41’ Bujur Timur dengan luas wilayah 19.919,3 Km² yang berada di bagian pantai barat pulau sumatera. Provinsi Bengkulu memiliki garis pantai sepanjang ± 525 Km dari perbatasan Kabupaten Mukomuko – Provinsi Sumbar sampai dengan perbatasan Kabupaten Kaur – Provinsi Lampung, yang wilayahnya terdiri dari 9 Kabupaten dan 1 Kota. Secara administratif Kota Bengkulu dengan luas wilayah 0,76 % dari luas total provinsi memiliki tingkat kepadatan tertinggi sekitar 2.456 per Km², serta potensi wisatwan menginap di Provinsi Bengkulu sebanyak 662.766 orang (BPS Prov.Bengkulu, 2018)
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu, merupakan Unit Pelaksana Teknis di dalam struktur Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Eksosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Wilayah kerjanya meliputi Provinsi Bengkulu dan Lampung, yang memiliki pengelolaan hutan konservasi yaitu Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru seluas 84.203,11 Hektar terdiri dari 36 hutan konservasi yang terdiri dari 27 Cagar Alam dan Cagar Alam Laut, 6 Taman Wisata Alam, 2 Taman Buru dan 1 Suaka Margasatwa (BKSDA Bengkulu, 2018)
Hutan di bagi menjadi 3 (tiga) fungsi pokok yaitu hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi. Hutan Konservasi terdiri dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sietem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfataan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman Wisata Alam merupakan salah satu bagian dari kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam (UU RI NO.5, 1990).
Balai KSDA Bengkulu pada tanggal 10-11 Juli 2017 melakukan penilaian efektifitas pengelolan kawasan hutan konservasi self-assesment pada 25 kawasan hutan konservasi yang berada di Provinsi Bengkulu dan Provinsi Lampung. Kawasan yang dinilai adarah 25 kawasan hutan konservasi yaitu 20 Cagar Alam, 1 Taman Buru dan 4 Taman Wisata Alam.
Tim penilai internal yang terdiri dari petugas Balai, Seksi Konservasi Wilayah dan para Kepala Resort KSDA sebagai pemangku kawasan. Sedangkan dari pihak eksternal berasal dari akademisi Universitas Bengkulu, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Sedangkan pihak Fasilitator Penilaian METT berasal dari SubDirektorat Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi, Direktorat Kawasan Konservasi, Ditjen KSDAE, Kementerian LHK.
Indeks nilai METT pada kawasan hutan konservasi mengalami peningkatan pada tahun 2017, dibandingkan dengan Tahun 2015. Terdapat 2 kawasan hutan konservasi yang memperoleh indeks METT diatas 70 yaitu CA/CAL Kepulauan Krakatau di Provinsi Lampung dan CA Danau Dusun Besar di Provinsi Bengkulu.
Info berita METT BKSDA Bengkulu :
http://ksdae.menlhk.go.id/berita/934/balai-ksda-bengkulu-lakukan-penilaian-indeks-mett-25-kawasan
Apakah METT (Management Effectiveness Tracking Tool) ?
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi dipicu oleh factor kondisi internal yaitu status dan kondisi kawasan konservasi yang belum disepakati dan belum clear and clean, belum selesainya penataan batas dan pengelolaan kawasan yang belum optimal. Sedangkan factor eksternal yaitu kebutuhan lahan karena disebabkan dinamika demografi, pemekaran wilayah, yang diikuti kebutuhan infrastruktur, mobilitas, pertambangan, perkebunan skala besar dan permintaan pasar terhadap komoditi tertentu, masih kurang dan kesulitan SDM dalam mengidentifikasi permasalahan, tidak tepat dalam alokasi sumber daya dan belum terarahnya pengelolaan kea rah mencapai tujuan pengelolaan kawasan konservasi (Kementerian LHK, 2017).
Dengan mempertimbangkan program nasional pemerintah dalam program peningkatan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi, maka ditetapkan perangkat sistem monitoring yang digunakan di Indonesia oleh pihak-pihak terkait. Metode penilaian efektifitas pengelolaan telah banyak dikembangkan berbagai negara. Menurut Leverington et al (2008) sampai tahun 2008 telah tercatat lebih dari 40 metode da saat ini masih terus bertambah. Management Effectiveness Tracking Tool (METT) telah digunakan di 100 lebih negara dan di implementassikan di lebih dari 2000 kakwasan konservasi di dunia (Kementerian LHK, 2017).
Management Effectiveness Tracking Tool (METT) dikembangkan oleh WWF dan World Bank Tahun 2017 yang menjadi pilihan yang ditetapkan pemerintah untuk melakukan monitoring pengelolaan kawasan konservasi dan perlu dilengkapi dengan beberapa informasi dalam penerapan di Indonesia (Kementeria LHK, 2017).
The International Union for Conservation of Nation (IUCN) telah menyediakan kerangka kerja penilaian efektivitas pengelolaan secara umum yang diharapkan menjadi panduan perangkat-perangkat penilaian yang dikembangkan di dunia. Penilaian akan dilakukan terhadap elemen-elemen utama yang berperan penting dalam siklus pengelolaan.
Adapun aspek-aspek penilaian dikelompokkan dalam 6 aspek utama, yaitu :
Pemahaman akan konteks dari kawasan konservasi, berupa nilai-nilai penting yang dimiliki oleh kawasan, ancamanancaman yang dihadapi, peluang-peluang yang
Tersedia, dan parapihak yang terlibat.
Perencanaan terhadap pengelolaan kawasan, meliputi desain (bentuk, luas, dan lokasi), perumusan visi; tujuan; dan target untuk pelestarian nilai-nilai penting dan mengurangi tekanan.
Alokasi sumberdaya (input), yang meliputi personil/staf; alokasi anggaran yang tersedia; dan peralatan pendukung pengelolaan.
Kegiatan-kegiatan pengelolaan yang dilakukan sesuai dengan standar yang bisa diterima (proses),
Produk dan jasa (output) yang dihasilkan sesuai yang direncanakan,
Dampak atau outcome yang dicapai, dalam hal ini disesuaikan dengan tujuan pengelolaan.
Berikut rangakaian elemen pengelolaan kawasan konservasi yang saling terhubung, terjadi pada gambar 2. 1 berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Penilaian Efektifitas Kawasan Konservasi
Dalam Buku Panduan METT, awalnya desainnya METT digunankan pengelolaa kawasan konservasi secara mandiri. Namun, dalam perkembangannya perlu melibatkan pihak-pihak alin yang terkait dengen pengelolaan kawasan konservasi untuk memberikan hasil yang lebih akurat dan objektif (Kementerian LHK, 2017).
Adapun prinsip-prinsip yang perlu dipedomani yaitu :
Objektif, yaitu hasil penilaian yang menggambarkan kondisi factual pengelolaan yang ada dan dapat dverifikasi dengan informasi pendukung.
Transparan, yaitu proses dan hasil dapat dipertanggungjawabkan dan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan pengelolaan publik
Partisipatif, dengan melibatkan pihak terkait, berkepentingan dan berkompeten baik internal dan eksternal.
Reguler, penialaian dilakukan minimal 2 tahun sekali atau tahun ganjil
Independen, penilaian efektifitas pengelolaan digunakan murni untuk kepentingan pengelolaan, sehingga terbebas dari kepentingan-kepentingan lainnya.
Introspeksi proses penilaian dimaksudkan agar pengelola melihat progress pengelolaan yang dilakukan dan dapat melihat kekurangan yang penting di tindaklanjuti.
Berbagi pengatahuan/ sharing knowledge, para pihak yang terlibat proses penilaian dapat saling berbagi informasi dari proses penilaian kawasan konservasi.
PENILAIAN PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI DENGAN METODE METT
Dalam Kementerian LHK (2017), bahwa sistem monitoring yang digunakan dalam rangka tindaklanjut dan sejalan dengan Program of Work (PoW) Convention on Biodiversity (CBD) tahun 2004, bahwa setiap negeri yang meratifikasi CBD diharuskan untuk mengikuti pada 4 tujuan (goal) dalam dokumen tersebut.
Metode yang digunakan di Indonesia adalah Metode Management Effectiveness Tracking Tool (METT) proses penilaian dilakukan dengan mengisi kuisioner yang terdiri dari :
Lampiran 1. Laporan Kemajuan Situs Kawasan Konservasi. Berisi detil penilain dan informasi dasar tentang situs seperti nama, ukuran, lokasi, dll.
Lampiran 2. Data Ancaman Kawasan Konservasi. Berisi daftar generic ancaman yang dihadapi kawasan konservasi.
Lampiran 3. Lembar Penilaian Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Daratan (terresretial). Lembar penilaian dengan sekitar 30 pertanyaan dalam format tabel, termasuk tiga kolom untuk mencatat detil dari penilaian, semua pertanyaan harus diisi kecuali pertanyaan yang tidak diwajibkan pada Kawsan Suaka Alam seperti Cagar Alam dan Suaka Margasatwa.
Lampiran 4. Scorecard Penilaian Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Lembar penilaian dengan sekitar 34 pertanyaan dalam format tabel, termasuk tiga kolom untuk mencatat detil dari penilaian, yang diperuntukan kawasan konservasi perairan.
Lampiran 5. Perhitungan Nilai Indeks Efektivitas Pengelolaan. Lembar penilaian dengan 30 pertanyaan penilaian efektifitas pengelolaan kawasan konservasi daratan adalah 90. Sedangkan kawasan tertentu seperti Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, tidak memungkinkan untuk pertanyaan nomor 25, 27 dan 28 berkaitan dengan wisata alam dengan nilai total maksimal adalah 81. Sedangkan untuk penilaian efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan nilai maksimal adalah 139.
Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi, yaitu :
Nilai Akhir = Total Skor/Maksimum Skor x 100 %
Analisis terhadap berbagai hasil penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi dengan nilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi dapat dibagi dalam 3 (tuga) kategori, yaitu :
< 33 % : Pengelolaan kawasan tidak memadai (tidak efektif)
33-67 % : Pengelolaan kawasan kurang memadai (kurang efektif)
> 67 % : Pengelolaan kawasan cukup memadai (efektif)
Menurut Kemeterian LHK (2017), bahwa keseluruhan konsep skoring memiliki kesulitan dan kemungkinan melenceng. Persentase dari ke enam elemen kerangka kerja WCPA (konteks, planning, inputs, process, ouputs dan assesments), pada sistem saat ini mengasumsikan bahwa pertanyaan telah melingkupi semua isu secara sama, oleh karenanya skor akan memberikan penilaian yang lebih baik jika dikalkulasikan sebagai persentase penilaian.
Daftar Pustaka
Bakar, A. 2018. Konservasi Untuk Pembangunan. Sebuah Catatan Kecil dari Laangan. BKSDA Bengkulu. Bengkulu.
BPS Prov. Bengkulu. 2018. Statistik Daerah Bengkulu 2018. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
BKSDA Bengkulu, 2011. Rencana Pengelolaan TWA Pantai Panjang – Pulau Baai Kota Bengkulu Provinsi Bengkulu Periode 2011-2021. BKSDA Bengkulu. Bengkulu.
BKSDA Bengkulu, 2018. Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah Tahun 2017. BKSDA Bengkulu. Bengkulu.
Ditjen KSDAE. 2015. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Tahun 2015-2019. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Ditjen KSDAE. 2018. Statistik Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Tahun 2017. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Kementerian LHK. 2017. Peraturan Direktur Jenderal KSDAE Nomor : P.12/KSDAE/SET/KUM.1/12/2017 tentang Pedoman Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Kementerian LHK. 2018. Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Wiratno, 2018. Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia : Membangun “Organisasi Pembelajar”. Ditjen KSDAE, KLHK. Jakarta
Komentar
Posting Komentar