Terimakasih Bapak Konservasi Wiratno
FAKTA
1. Indonesia memiliki kawasan konservasi
yang tersebar di seluruh wilayah propinsi, sebanyak 556 unit dengan luas
mencapai 27,26 juta hektar, dimana seluas 5,32 juta ha merupakan kawasan
konservasi perairan atau 21,26% dari total luas kawasan hutan dan kawasan
konservasi perairan di Indonesia. Mewakili seluruh tipe ekosistem yang ada di
wilayah Nusantara, mulai dari ekosistem pegunungan, hutan dataran rendah,
savana, ekosistem pantai, padang lamun sampai ekosistem terumbu karang.
2. Sebagian besar atau 60,19% kawasan
konservasi berstatus sebagai taman nasional. Beberapa dari taman nasional
memiliki pengakuan global seperti World Heritage, Biosphere
Reserve, ASEAN Heritage dan Ramsar Site. Pengakuan global merupakan
bukti bahwa kawasan konservasi di Indonesia memiliki nilai penting bagi
konservasi keanekaragaman hayati secara global. Kawasan konservasi juga
berfungsi sebagai daerah resapan air, ‘pabrik air’, perlindungan hidrologi,
iklim mikro, kesuburan tanah, sumber mikroba, keseimbangan siklus air,
penyimpan karbon dan menjaga kesehatan daerah aliran sungai dari hulu sampai ke
hilir.
3. Kawasan konservasi dikelilingi oleh
lebih kurang 5.860 desa. BRWA/AMAN, HUMA dan mitra lainnya mengusulkan sebagian
dari wilayah tersebut sebagai wilayah adat (seluas kurang lebih 1.640.264
hektar di 129 komunitas adat). Misalnya di kawasan TN Betung Kerihun
seluas ± 306.068 hektar, kawasan TN Sebangau seluas ± 138.321 hektar, serta
kawasan TN Lore Lindu seluas ± 95.458 hektar.
4. Sejak era 1980-an telah terjadi
perubahan penggunaan lahan akibat eksploitasi hutan skala besar, yang kemudian
terus berlanjut di era 1990-an. Terjadinyabooming penggunaan lahan untuk
keperluan monokultur (terutama komoditi sawit, kopi, coklat, dan karet) dan
dengan berkembangnya pengembangan pembangunan infrastruktur, lahirnya kota-kota
baru, serta mobilitas dan pertumbuhan penduduk telah menyebabkan perubahan
cukup luas dan mengakibatkan kawasan konservasi mendapatkan tekanan yang lebih
besar dan kompleks menyebabkan timbulnya fenomena ‘Island Ecosystem’
dan fragmentasi habitat.
5. Berdasarkan kajian dari Direktorat
Jenderal KSDAE, Direktorat PIKA dan Direktorat Kawasan Konservasi,
diidentifikasi terdapat daerah terbuka (open area) seluas ±2,8 juta
hektar dari 22.108.630 hektar kawasan konservasi daratan atau seluas 12,6%.
Daerah terbuka tersebut disebabkan oleh perambahan untuk perkebunan, untuk
pertanian lahan kering, illegal logging dan penambangan liar.
6. Meningkatnya konflik satwa liar
dengan manusia akibat hilangnya habitat, terputusnya koridor, overlapping daerah jelajah satwa liar
dengan kegiatan manusia, meningkatnya perburuan dan perdagangan satwa liar secara
ilegal merupakan bukti semakin menurunnya kualitas lingkungan dan Biological Catastrophe yang antara lain berupa meningkatnya serangan hama ke lahan-lahan
pertanian, hilangnyapollinator, serta muncul dan berkembangnya alien
spesies. Demikian juga meningkatnya konflik sosial antara masyarakat penggarap
dengan pengelola kawasan konservasi.
TEMUAN
AWAL
1. Pengelolaan kawasan konservasi tidak
dapat dilakukan hanya terbatas pada teritori kawasan tanpa mempertimbangkan
perubahan lahan, kerusakan habitat, sosial ekonomi, budaya dan pembangunan
secara umum di daerah penyangganya dan atau pada skala lansekap yang lebih
luas.
2. Pengelolaan kawasan konservasi
memerlukan dukungan disiplin ilmu yang beragam, pendekatan multipihak dan
dukungan kebijakan yang konsisten oleh pemerintah mulai dari pusat , propinsi ,
kabupaten , kecamatan, desa sampai ke tingkat tapak, dengan pendampingan yang
konsisten dari CSO, Universitas setempat, local champion dan para aktivis.
3. Tidak ada formula tunggal dalam menyelesaikan
berbagai persoalan yang dihadapi pengelola kawasan konservasi atau dalam
pengembangan potensi kawasan konservasi, baik untuk kepentingan jangka pendek
maupun jangka panjang. Penyelesaian persoalan antara lain perambahan akibat
kemiskinan tidak dapat ditempuh melalui penegakan hukum dan harus dicari cara
lain yang lebih tepat dan dapat diterima oleh masyarakat. Penegakan hukum hanya
ditujukan pada aktor intelektual yang selalu memanfaatkan masyarakat miskin
yang berada di kawasan konservasi.
4. Diperlukan penerapan empat prinsip tata kelola
yaitu transparansi, partisipasi, pertanggung jawaban kolektif dan
akuntanbilitas dalam rangka penyelesaian masalah dan pengembangan potensi di
dalam kawasan konservasi dan di daerah penyangganya, dengan melibatkan desa
dengan perangkat kelembagaannya sebagai bagian dari yang tidak terpisahkan
dengan pengelolaan kawasan konservasi di sekitar desa tersebut.
5. Lemahnya dukungan lintas Kementerian, lintas
sektor, partisipasi pihak swasta, dukungan masyarakat sipil, tokoh masyarakat,
tokoh agama, scientist dari Universitas setempat
menyebabkan berbagai persoalan di kawasan konservasi tidak dapat diselesaikan,
dan potensi belum dapat dimanfaatkan secara lestari untuk kesejahteraan
masyarakat setempat. Beberapa contoh keberhasilan belum dapat direplikasi
secara efektif di tingkat Nasional.
CARA
BARU
Berdasarkan
fakta dan temuan awal tersebut di atas, diperlukan Paradigma Baru dan Cara Baru
dalam pengelolaan kawasan konservasi:
1. Masyarakat Sebagai Subyek
Masyarakat
diposisikan sebagai subyek atau pelaku utama dalam berbagai model pengelolaan
kawasan, pengembangan daerah penyangga melalui ekowisata, pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK), jasa lingkungan, patroli kawasan, penjagaan kawasan,
restorasi kawasan, pengendalian kebakaran, budidaya dan penangkaran satwa,
penanggulangan konflik satwa, pencegahan perburuan dan perdagangan satwa.
Ditjen KSDAE hanya akan bekerjasama dengan desa dan kelompok masyarakat. Hanya
dalam kelompoklah dapat dibangun nilai – nilai kelompok, misalnya
kegotongroyongan, kebersamaan, kerjasama, tanggung renteng, dalam rangka
membangun tujuan kelompok dan pembelajaran bersama. Secara tidak langsung model
ini dapat didorong dilaksanakannya prinsip – prinsip demokrasi di tingkat lokal
sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa 72 Tahun yang lalu.
2. Penghormatan pada HAM
Cara
Baru Kelola Kawasan Konservasi harus mempertimbangkan prinsip – prinsip
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Berbagai permasalahan yang menyangkut
hubungan masyarakat atau masyarakat hukum adat di dalam kawasan konservasi
diselesaikan melalui pendekatan non litigasi dan mengutamakan dialog. Berbagai
produk hukum Kementerian LHK sebenarnya telah mengakomodir berbagai kepentingan
masyarakat, yaitu antara lain: 1) Permenhut Nomor 64 tentang Pemanfaatan Air
untuk masyarakat; 2) Permenhut Nomor 48 tentang Keberpihakan Pelaku Usaha Jasa
Wisata untuk masyarakat setempat; 3) Permen LHK Nomor 83 tentang Perhutanan
Sosial tahun 2016. Sebentar lagi akan terbit Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan
di Kawasan Konservasi.
3. Kerjasama Lintas Eselon I
Cara
Baru Kelola Kawasan Konservasi akan dilakukan dengan membangun kerjasama lintas
Eselon I Kementerian LHK antara lain dengan Ditjen PSKL, yang dapat memberikan
akses kelola hutan selama 35 tahun kepada masyarakat desa di sekitar Hutan
Produksi dan Hutan Lindung yang menjadi penyangga kawasan konservasi; Ditjen
PDASHL untuk dukungan pembibitan; Ditjen PKTL untuk sinkronisasi dan
kesepakatan batas partisipatif (legal and legitimate); Balitbang Inovasi
untuk dukungan riset terapan atau Participatory Action Research/PAR.
4. Kerjasama Lintas Kementerian
Cara
Baru Kelola Kawasan Konservasi juga akan segera dilakukan melalui kerjasama
dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,
Kemendagri dan Kemenkoinfo, agar dapat dicapai sinergitas dan keterpaduan
program sejak dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
5. Penghormatan Nilai Budaya dan Adat
Cara
Baru tersebut juga sebagai upaya untuk menemukan Model Kelola Kawasan
Konservasi yang didasarkan pada Nilai – nilai Adat dan Budaya Setempat,
Perubahan Geopolitik, Sosial Ekonomi yang terjadi di sekitar kawasan konservasi
sebagai dampak dari pembangunan di berbagai bidang selama 47 Tahun terakhir.
Oleh karena itu, Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi dilakukan melalui
pendekatan berbasis lansekap, atau berbasis daerah aliran sungai atau
berdasarkan kondisi ragam ekosistem, ragam adat dan budaya, habitat, sebaran
satwa liar dan keberadaan ekosistem esensial dan dengan mempertimbangkan
perubahan penggunaan lahan akibat dari pembangunan dan keberadaan serta
aspirasi masyarakat dan masyarakat hukum adat, terutama yang kehidupannya masih
tergantung pada sumberdaya hutan dan perairan.
6. Multilevel Leadership
Cara
Baru Kelola Kawasan Konservasi mensyaratkan kemampuan leadership dengan dukungan manajemen di semua level, mulai dari Jakarta,
Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa, Dusun dan di tingkat tapak. Leadership yang kuat harus membuktikan
mampu membangun kerjasama multipihak dengan berpegang pada prinsip mutual respect, mutual trust, dan mutual benefits. Kerjasama atau kemitraan
merupakan keniscayaan dalam pengelolaan kawasan konservasi, dan oleh sebab itu
keberhasilan kelola kawasan konservasi adalah keberhasilan kolektif. Untuk itu
harus dibangun kesadaran kolektif (collective awareness) sebagai dasar
dimulainya aksi kolektif (collective action). Para pihak yang
bekerjasama, secara bertahap sudah seharusnya mampu menerapkan empat prinsip governance yaitu: 1) partisipasi; 2)
keterbukaan; 3) tanggung jawab kolektif; dan 4) akuntabilitas.
7. Scientific Based Decision Support System
Cara
Baru Kelola Kawasan Konservasi harus berbasiskan science dan penerapan teknologi tinggi dalam rangka menemukan nilai
manfaat nyata sumber daya genetik untuk kemanusiaan, misalnya terkait dengan
pengembangan obat obatan modern seperti, pengembangan riset soft coral Candidaspongia sp. untuk anti cancer di TWA Teluk Kupang, obat obatan tradisional dari
TWA Ruteng yang diinisiasi oleh BBKSDA NTT tahun 1999 - 2013; jamur morel atau Morchella sp. oleh Balai TN Gunung Rinjani
tahun 2016.
8. Resort (Field) Based Management
Cara
Baru Kerja Kawasan Konservasi berpegang pada prinsip “pemangkuan” kawasan.
Untuk itu UPT Balai TN/KSDA harus bekerja di tingkat lapangan. Cara kerja
ini disebut sebagai Resort Based Management (RBM), dimana staf menjaga kawasan di lapangan dengan menerapkan
sistem aplikasi RBM sebagai dasar untuk menerapkan perencanaan spasial.
Dalam
melaksanakan Cara Baru tersebut Ditjen KSDAE menugaskan 74 Unit Pelakasana
Teknis untuk menerapkan Role Model sebagai prototype, yang disiapkan secara
partisipatif dan hasilnya akan dievaluasi pada akhir tahun 2018. Role Modeltersebut juga akan
didokumentasi prosesnya, sehingga keberhasilan dan kegagalannya dapat
dipelajari agar keberhasilannya dapat direplikasi dan potensi kegagalannya
dapat diantisipasi. Ditjen KSDAE membentuk Flying Team Multipihak yang bertugas
membantu UPT melaksanakan Role Model.
9. Reward and Mentorship
Salah
satu indikator organisasi yang sehat dan mampu merespon perubahan yang cepat
adalah kemampuan dan kemauan organisasi tersebut-Ditjen KSDAE untuk memberikan reward bagi UPT yang berhasil dan memberikan bimbingan serta
memfasilitasi bagi yang belum berhasil. Organisasi yang maju adalah organisasi
yang mampu mengantisipasi terjadinya potensi kerusakan dan mampu membangun
jejaring kerja multipihak berbasis science dan teknologi untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia terutama
bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang saat ini dalam proses menemukan
kembali jatidirinya dalam pergulatan global.
10. Learning Organization
Dengan
cara seperti ini, diharapkan Ditjen KSDAE mampu membangun apa yang disebut
sebagai “Learning Organization”. Sebenarnya telah banyak pembelajaran
yang dapat dipetik dari kerja lapangan di banyak UPT TN/KSDA, namun belum ada
sistem yang memastikan proses pembelajaran didokumentasi, difasilitasi
penyebarannya untuk dipetik hikmahnya. Misalnya keberhasilan ekowisata
Tangkahan dan Restorasi Ekosistem Cinta Raja oleh Balai Besar TN Gunung Leuser
dan didukung oleh UNESCO pada tahun 2000 – sekarang; Restorasi SM Paliyan tahun
2000 - sekarang oleh BKSDA Yogyakarta dan Sumitomo; Budidaya Edelweis berbasis
masyarakat oleh Balai Besar TN Bromo Tengger Semeru tahun 2016; Pengembangan
Ekowisata di Batu Luhur dan Bukit Seribu Bintang oleh Balai TN Gunung Ciremai
tahun 2016; Penyelamatan Vanda tricolor oleh Balai TN Gunung Merapi tahun 2000 – sekarang; Restorasi
berbasis masyarakat di Pesanguan oleh Balai Besar TN Bukit Barisan Selatan dan
didukung oleh Konsorsium Unila-PILI dan TFCA-Sumatera; Model Penegakan Hukum
Perdagangan Ilegal TSL oleh Balai KSDA Aceh tahun 2017; Model Penanganan
Konflik Gajah di TN Way Kambas – TN BBS tahun 2017 yang didukung oleh WCS;
Penanganan Orangutan di kebun oleh Balai KSDA Kalimantan Tengah didukung
Yayasan BOS; Kemitraan Pengelolaan Madu Hutan oleh masyarakat difasilitasi
Balai Besar TN Betung Kerihun dan Danau Sentarum tahun 2017; Kemitraan
Masyarakat di Gunung Honje oleh Balai TN Ujung Kulon tahun 2017 dan sebagainya.
PENUTUP
Organisasi
seperti itulah yang dicita – citakan terjadi pada Ditjen KSDAE saat ini dan ke
depan. Ditjen KSDAE yang mendapatkan mandat oleh Undang-undang untuk mengelola
kawasan konservasi seluas 27,2 Juta Ha atau 380 kali luas Negara Singapura.
Pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk kepentingan generasi saat ini
dan akan diserahkan generasi mendatang dalam tempo 100 – 200 Tahun ke depan
dalam keadaan yang insyaallah “baik”. Ditjen KSDAE mendeklarasikan 27,2 Juta Ha
kawasan konservasi sebagai “ National Treasure”.
Cara
Baru tersebut semoga menjadi
salah satu jawaban dari Nawacita Bapak Presiden RI Joko Widodo yaitu Menghadirkan kembali Negara,
Membangun Indonesia dari Pinggiran, dan Mewujudkan Kemandirian Ekonomi .
Ahimsa
– Aparigraha – Anekanta
Resources is limited but Innovation is Unlimited
*** Makalah
disampaikan dalam Workshop Penyusunan Buku State of Indonesian Forest, 30 November 2017 Hotel Novotel Bogor
Daftar
Rujukan
Awang S.A., 2013. Deforestasi dan Konstruksi
Pengetahuan Pembanguan Hutan Berbasis Masyarakat. Artikel Utama. Jurnal Rimba
Indonesia Volume 51, Mei 2013.
Capra,
F. 2001. “Jaring-jaring Kehidupan” Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan.
Darmanto dan A Setyowati. 2012. Berburu Hutan Siberut.
Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi. UNESCO-Kepustakaan Popular
Gramedia.
De
Santo., J. 2015. Sekolah Perdamaian. Harian Kompas, tanggal 2 Januari 2015.
FAO. 2015. State of the World Forest 2014. Enhancing
the Socio economic Benefits from Forest. FAO, Rome.
Gutomo B Aji., dkk. 2014. Poverty reduction in
villages around the forest : the development of social forestry model and poverty
reduction policies in Indonesia. Research Center for Population. Indonesian
Institute of Sciences.
Ismatul H dan R Wibowo (Ed). 2013. Jalan Terjal
Reformasi Agraria di Sektor Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perubahan Iklim dan Kebijakan, Litbang Kehutanan.
Marsono, Djoko, 2002. Perspektif Ekosistem Konservasi
Hutan Produksi PT Perhutani. Makalah disampaikan pada Workshop Keharusan
Konservasi dalam Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan Produksi,
kerjasama antara Fakultas Kehutanan UGM dan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur,
9 - 11 Agustus 2002
Otto Scharmer. 2007. Addressing the Blind Spot of Our
Time. An Executive Summary of the New Book by Otto Scharmer.Theory U : Leading
from the Future as It Emerges.
The Social Technology of Presencing. The Presencing
Institute. Cambride MA. Society for Organizational Learning, 2007.
Santoso, H. dkk. 2015. Penyusunan Rekomendasi
Kebijakan Presepatan Proses Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Kemitraan.
Partnership for Governance Reform in Indonesia.
Kartodihardjo., 2013. Kembali ke Jalan Lurus. Kritik
Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan di Indonesia. Hariadi Kartodihardjo
(Editor).
Sarong. F. 2013. Serpihan Budaya NTT (Kumpulan Ficer
di Harian Kompas). Tony Kleden dan Maersel Robot (Editor). Penerbit Ledalero.
Cetakan I-Mei 2013. Eman., J.E; R.Mirse. (Ed)., 2004. Gugat Darah Petani Kopi
Manggarai. Penerbit Ledalero. Cetakan I 2004. 22 Pidato Dies Natalis Fakultas
Kehutanan UGM ke 54
Suharjito, D. 2014. Devolusi Pengelolaan Hutan dan Pembangunan
Masyarakat Pedesaan. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. IPB, 03 Mei 2014.
Tolle, E. 2005. A New Earth. Create a Better Life.
Michael Joseph. An Imprint of Pinguin Books. Verbist., B.dkk., 2004. Penyebab
alih guna lahan dan akibatnya terhadap fungsi Daerah Aliran Sungai pada
lansekap agroforestry berbasis kopi di Sumatera. ICRAF SE Asia. Agrivita Volume
26 No.1, 1 Maret 2004.
Wiratno. 2004. Nakhoda : Leadership dalam Organisasi
Konservasi. Conservation International Indonesia.
Wiratno. 2012. Tipologi Konflik-konflik Sosial di
Kawasan Konservasi dan Upaya Solusinya. www.konservasiwiratno.blogspot.com.
Wiratno. 2013. Pendekatan Budaya dalam Menjaga
Lingkungan: Kontribusi Kerja Jurnalisme dan Pemikiran Frans Sarong.
www.konservasiwiratno.blogspot. com.
Wiratno. 2013. Mengelola TWA Ruteng dalam Perspektif
Alternatif Ketiga. www. konservasiwiratno.blogspot.com.
Wiratno. 2013. Tangkahan: Dari Penebang Liar ke
Konservasi Leuser. Orangutan Information Center (OIC) dan GRASP.
Wiratno, dkk. 2013. Tersesat di Jalan yang Benar.
Seribu Hari Mengelola Leuser. UNESCO Jakarta Office.
Wiratno. 2014. Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa:
Solusi Konflik, Pengentasan Kemiskinan dan Penyelamatan Habitat dan
Perlindungan Keragaman Hayati. Direktorat Bina Perhutanan Sosial. Ditjen
BPDASPS, Kementerian Kehutanan.
Wiratno. 2017. Membangunkan Konservasi Nusa Tenggara
Timur Pembelajaran Resort Based Management 2012-2013.
Wiratno. 2017. Perebutan Ruang Kelola : Refleksi
Perjuangan dan Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia. Pidato Dies Natalis
Fakultas Kehutanan UGM ke 54 16 November 2017.
Komentar
Posting Komentar